Bandar Lampung, Jumat (29/08/25)- Ada yang berbeda di Balai Rektorat Universitas Lampung, Rabu kemarin (27/08). Ketimbang hiruk-pikuk aktivitas kampus biasanya, sekelompok mahasiswa memilih berkumpul di bawah langit terbuka. Diinisiasi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM U) Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Lampung (KBM Unila), pertemuan ini bukan hanya sekadar wacana, melainkan respons nyata terhadap kondisi negara yang dianggap tidak baik-baik saja.
Bagi mereka, tindakan ini adalah respons nyata terhadap sikap pejabat yang dirasa tidak mencerminkan status mereka sebagai wakil rakyat, serta isu-isu yang kini menjadi momok bagi masyarakat. Pertemuan ini adalah upaya untuk menumbuhkan nurani mahasiswa yang diharapkan bisa menghasilkan gerakan nyata dalam menyuarakan keresahan bersama.
Di tengah suasana yang serius namun hangat, para mahasiswa mencoba mengurai kejanggalan demi kejanggalan yang mereka lihat dan rasakan. Diskusi ini menjadi wadah untuk mengkritik sikap pemerintah yang dianggap egosentris dan kurang peka terhadap apa yang dibutuhkan rakyat.
Kritik tersebut, secara lugas, disampaikan oleh Gery, salah satu peserta diskusi. “Pejabat Pemerintah itu seharusnya melayani rakyat tapi kenyataannya justru sebaliknya,” ujarnya. Ia menjelaskan bagaimana undang-undang yang disahkan oleh DPR, seperti UU TNI dan UU Polri, tidak memihak rakyat. Ia membandingkan dengan RUU Perampasan Aset dan RUU Masyarakat Hukum Adat yang sudah lama disuarakan namun justru diabaikan.
Terkait kritik itu, Haikal dari UIN Raden Intan Lampung melihat ada masalah mendasar yang membuat suara mahasiswa tak sampai ke tingkat nasional. “Belakangan ini gerakan mahasiswa terasa cenderung reaktif dan kurang terkoordinasi. Para aktivis-aktivis kampus kurang piawai dalam menyatukan dan menggerakan mahasiswa di Lampung,” ucapnya, seakan menjelaskan mengapa kritik seperti yang disampaikan Gery belum memiliki dampak yang signifikan.
Di balik minimnya partisipasi, Khairil Amri, perwakilan dari BEM U KBM Unila, menjelaskan akar permasalahannya. Menurutnya, ada sistem yang seolah membungkam mahasiswa. Ia menyoroti bagaimana program pemerintah, seperti MSIB, justru membuat mahasiswa pasif.
“Saya Pribadi melihat banyak mahasiswa peserta MSIB yang dituntut magang berbulan-bulan, sehingga meninggalkan organisasi mereka,” ungkap Khairil. Mereka diberikan “tawaran imbalan sertifikat dan uang tunai sehingga mereka kurang berorganisasi.” Sehingga menjadi dilema ketika sebuah pilihan untuk menjamin masa depan personal, secara tidak langsung, mengorbankan kesadaran sosial.
Namun, di sisi lain tantangan ini, Khairil melihat sisi positif. Siklus pergantian mahasiswa yang cepat membawa semangat baru. Mahasiswa baru belum terdemotivasi oleh kegagalan aksi di tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, BEM U KBM Unila berupaya menciptakan aliansi gerakan yang berkelanjutan dan strategis, agar diskusi rutin terus berjalan.
Di tengah perjuangan antara tuntutan karier dan panggilan nurani, Khairil menyampaikan harapannya, “dengan dimulai dari diskusi ini kemudian bisa menjadi sebuah gerakan nyata, saya berharap negara benar-benar bisa menyikapi permasalahan yang ada dengan sebaik-baiknya, mulai dari korupsi, kriminalisasi, dan lain-lain, semua itu bisa di dengarkan dan disikapi berkat gerakan mahasiswa dan masyarakat, yang dimulai dari diskusi-diskusi kecil seperti ini, jadi pemerintah tidak menyepelekan suara mahasiswa dan rakyat.”
Sebagai tindak lanjut, direncanakan konsolidasi akbar terbuka secara umum se-Lampung yang akan digelar pada Jumat, 29 Agustus 2025. Harapannya, langkah ini akan menjadi babak baru untuk menyalakan kembali api perjuangan yang sempat meredup.
Teks: Aris Krisna Setiawan